Senin, 20 April 2009

Artikel Hak Menguasai Tanah Oleh Negara

Bab I

Pendahuluan



Hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.

Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa

Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggungjawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab[1]

Dinamika pembangungan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bgai kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, paper ini akan mengkaji dua pokok permasalahan yaitu :

1. Bagaimana penguasaan tanah oleh Negara merupakan pencerminan dari tanggung jawab publik Negara
2. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil alih oleh negara, yang peruntukan akhirnya tidak sesuai dengan maksud awal pengambil alihan tersebut.





Bab II

Penguasaan Tanah oleh Negara dan Perlindungan Terhadap

Hak Milik Perorangan



A. Aspek hukum penguasaan tanah oleh Negara

1. Negara sebagai subjek Hukum

Penguasaan tanah adalah suatu hak. Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas. Negara adalah salah satu subjek hukum. Dalam hal ini organisasi negara dipandang sebagai badan hukum publik yang memiliki otoritas mengatur warganya maupun menyelenggarakan seluruh kedaulatan yang melekat pada dirinya sesuai mandat yang diberikan oleh konstitusi atau perundang-undangan. Penyelenggaraan kedaulatan yang dimiliki oleh Negara adalah sempurna dalam arti kedaulatan tersebut bersumber dari dirinya sendiri, tidak dapat dipecah-pecah, asli dan sempurna.[2] Kedaulatan yang melekat pada negara, terbatas pada yurisdiksi hukum kekuasaannya, dan kekuasaan itu berakhir manakala ada negara lain yang memulai kekuasaan atasnya[3].

Subjek hukum adalah sesuatu yang disebut sebagai pembawa hak, yaitu yang mampu mendukung hak dan kewajiban. Negara dipandang sebagai subjek hukum, dalam konsep hukum adalah karena negara tersebut dipersonifikasi serta dianggap sebagai pembawa hak, yang disebut rechtspersoon, dan secara khusus lagi publiek rechts-person, yakni pendukung hak dan kewajiban publik yang padanya melekat kewenangan untuk menyelenggarakan kepentingan publik[4].

Selain sebagai Badan Hukum Publik, dalam hal-hal tertentu Negara juga dapat bertindak sebagai badan hukum perdata. Negara sebagai badan hukum perdata terjadi manakala Negara dalam suatu peristiwa hukum bertindak sebagai pihak dalam suatu Kontrak yang terikat hak dan kewajiban kontraktual dengan segala konsekuensinya, antara lain termasuk adanya kewajiban yang melekat untuk memenuhi prestasi kepada pihak berkontrak, yang apabila tidak dipenuhi dapat mengakibatkan tuntutan keperdataan.

Dalam hal Negara bertindak sebagai Badan Hukum Perdata yang semata-mata melaksanakan fungsi privaat-komersial- keperdataan, kedaulatan yang melekat pada dirinya kehilangan imunitasnya, dan dia dapat dituntut sebagai rechtpersoon di depan pengadilan, karena bukan fungsi kenegaraan (ius imperii) yang dilaksanakannya tetapi semata-mata fungsi privaat (ius gestines)[5]

2. Otoritas negara dalam penguasaan hak atas tanah

Otoritas negara dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari Undang-undang Dasar atau konstitusi Negara. Pengertian yang secara normatif diakui dalam ilmu hukum adalah bahwa masyarakat secara sukarela menyerahkan sebagian dari hak-hak kemerdekaannya untuk diatur oleh Negara dan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan kemakmuran rakyat. Negara atau Pemerintah harus memiliki sense of public service, sedangkan masyarakat harus memiliki the duty of public obedience.[6] Dalam keseimbangan yang demikian, maka tujuan penyerahan sebagian hak-hak masyarakat kepada negara memperoleh legitimasi politik dan legitimasi sosial.

Otoritas Negara, dalam hal ini Negara Republik Indonesia dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari konstitusi, dimana dalam pembukaan atau mukadimah undang-undang dasar dinyatakan bahwa salah satu tugas Negara yang membentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia. Kemudian, dalam pasal 33 Undang-undang dasar 1945, ditegaskan dan dideklarasikan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah dikuasai oleh Negara. Pasal tersebut tidak mengikutkan wilayah angkasa, namun berdasarkan konvensi dan hukum internasional wilayah angkasa sampai batas ketinggian tertentu adalah juga termasuk dalam yurisdiksi batas kedaulatan suatu negara.

UUPA tampaknya mengoreksi dan mempertegas pengertian pada pasal 33 Undang-undang dasar 1945 dengan mengikutkan ruang angkasa sebagai bagian seutuhnya dari wilayah Republik Indonesia. Hanya saja apabila dilihat dari etimologi pengertian agraria[7] yang berasal dari bahasa Latin, pada dasarnya agraria hanya menyangkut pengaturan tanah-tanah untuk pertanian saja. Hukum agraria[8] dalam hukum Romawi Kuno, hanya mengatur pembagian dan distribusi tanah kepada masyarakat terutama tanah-tanah yang diperoleh sebagai hasil taklukan dan ekspansi wilayah.

UUPA, seperti pada namanya hanya mengatur mengenai hal-hal pokok mengenai keagrariaan. Undang-undang lainnya yang mengandung kewenangan atau otoritas Pemerintah untuk mengatur peruntukan tanah tersebar pada berbagai Undang-undang, namun secara umum selalu menjadikan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 sebagai salah satu dasar hukum atau konsiderans dalam undang-undang yang bersangkutan.

Tanah termasuk ke dalam kelompok benda. Hak-hak atas tanah dengan demikian dapat juga ditinjau dari hak-hak kebendaan pada umumnya. Hukum benda adalah bagian dan sub dari hukum kekayaan. Sepanjang menyangkut hak-hak atas tanah, pada dasarnya pengaturan pokoknya dapat direferensi ke UUPA. Namun mengingat tanah, adalah juga merupakan sub bagian dari hukum benda dan hukum kekayaan pada umumnya, maka mempelajari hak atas tanah tidak cukup hanya dengan mengacu kepada UUPA. Hal lainnya, yang menjadi pertimbangan adalah, bahwa hukum benda sebagai bagian dari hukum kekayaan bersifat netral.

Menurut Djuhaendah Hasan[9], pengaturan hak-hak atas tanah dalam UUPA adalah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan agak sensitif atau kurang netral, mengingat rumusan yang dalam UUPA sendiri menyatakan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah adalah abadi. Asas hukum agraria adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Hukum adat sendiri dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal. Hal tersebut mengandung makna bahwa otoritas yang dimiliki negara untuk pengaturan tanah tidak semata-mata dapat didasarkan pada bunyi pasal-pasal perundang-undangan yang mengaturnya tetapi harus dengan memperhatikan konteks kekinian maupun suasana kebatinan yang timbul dalam pembuatan pasal-pasal aturan tersebut.



3. Jenis-jenis hak menguasai tanah yang dimiliki Negara

Hak menguasai tanah oleh Negara, dijabarkan dalam bentuk kewenangan tertentu untuk penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh UUPA digolongkan dalam tiga bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan hubungan hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah, dan pengaturan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum[10] . Ketiga hal tersebut adalah merupakan intisari dari pengaturan UUPA pasal 2 ayat 2 yang menyangkut kewenangan yang diturunkan oleh Negara kepada Pemerintah.

Turunan dari UUPA yang secara eksplisit dibunyikan pada Undang-undang lainnya tentang Hak menguasai dari negara, antara lain tercantum pada :

a. UU no. 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan.

Pasal 5 ayat 2 UU Pokok Kehutanan redaksi dan konstruksinya persis seperti pasal 2 ayat 2 UUPA, hanya saja tidak menggunakan UUPA sebagai salah satu referensinya.

b. UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pertambangan pada pasal 1 ayat 1 yang mengatur mengenai penguasaan bahan galian

c. UU no. 3 tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi

d. UU no. 11 tahun 1974 tentang Pengairan

e. UU no. 23 tahun 1997 tentang Penataan Lingkungan Hidup

f. UU no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

g. UU no. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal



Penggolongan hak menguasai negara pada tanahyang ada pada UUPA adalah meliputi :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah

Hak-hak yang mengenai pengaturan peruntukan tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :

1) Penatagunaan tanah

2) Pengaturan Tata ruang

3) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah

Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :

1) Pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang boleh dikuasai (landreform)

2) Pengaturan hak pengelolaan tanah

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah

Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum dan perbuatan hukum dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :

1) Pendaftaran tanah, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Ps1 1yat 1 PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)

2) Hak tanggungan

Berdasarkan UU no. 4 tahun 1996, hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan.

Hak tanggungan dapat digolongkan ke dalam hubungan hukum antar orang dan perbuatan hukum atas tanah, karena pada dasarnya hak tanggungan adalah merupakan ikutan (assesoris) dari suatu perikatan pokok, seperti hubungan hutang piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan tersebut.[11]



B. Hak milik Perorangan atas Tanah

1. Perorangan sebagai subjek hukum

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/ berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum. Subjek hukum adlah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/ berkuasa bertindak menjadi pendukung hak. Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban[12].

Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban.

2. Dasar hak untuk kepemilikan perorangan atas tanah

Dasar hak untuk kepemilikan individu atas tanah secara umum adalah hak universal yang mengakui kepemilikan atas hak-hak pribadi. Dalam Undang-undang Dasar 1945 amandemen kedua pada pasal 28 G dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang dibawah kekuasaannya. Sedangkan pada pasal 28 H ayat 4 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Tanah adalah bagian dari hak milik yang dapat dimiliki secara perorangan. Dalam UUPA dijelaskan bahwa sumber kepemilikan hak perorangan itu berasal dari dua unsur, yaitu :

a. Hak yang timbul karena hak ulayat, yang diperoleh secara hukum adat, turun temurun yang berasal dari pengakuan atau pembukaan hutan oleh masyarakat adat yang belum ada pengusahaan sebelumnya.

b. Hak yang diperoleh oleh orang-orang, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Hak-hak yang dapat dimiliki ini berasal atau merupakan derivasi dari hak menguasai tanah oleh negara. Jenis-jenis hak yang demikian adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang sifatnya sementara.

Berdasarkan pasal 1 ayat 20 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997, Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dengan kata lain sertifikat bukanlah alas hak, tetapi hanya sekedar bukti hak atas tanah.

Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan Satjipto Rahardjo[13], mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari pada hak

b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif

c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang disebut sebagai isi dari pada hak

d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai objek dari hak

e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.

C. Pengambil alihan tanah perorangan oleh Negara

1. Alas hak bagi Negara untuk mengambil alih tanah perorangan

Alas hak bagi negara untuk mengambli alih tanah masyarakat, baik yang berasal dari perorangan, kumpulan perorangan atau badan hukum adalah :

a. Sifat yang melekat pada kekuasaan negara dalam penguasaan tanah

b. Sifat yang melekat pada kepemilikan tanah yang dimiliki oleh perorangan

Sifat yang melekat pada kekuasaan negara dalam penguasaan tanah tercermin dari berbagai rumusan Undang-undang yang mengatur penggunaan, pemanfaatan dan pengalih fungsian tanah. Pada pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

Sifat yang melekat pada hak milik perorangan atas tanah adalah sekalipun dalam UUPA dinyatakan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, hubungan tersebut harus dimaknai dalam konteks kolektif sebagai bangsa. Hal tersebut antara lain dapat dijelaskan dengan dilarangnya hak milik atas tanah diperoleh oleh warga negara asing secara abadi. Selain itu, hak kepemilikan perseorangan atas tanah dari semula telah dibatasi dengan mendeklarasikan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial dimaksud adalah dalam menggunakan (atau dalam hal tidak menggunakan) hak-hak atas tanah harus tidak boleh mendatangkan kerugian bagi masyarakat.



2. Pencabutan hak atas tanah oleh Negara

Pada pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi menurut pasal 18 UUPA adalah :

a. Dasar atau alasan atau reason de’tree untuk pencabutan hak atas tanah adalah adanya :

1) Kepentingan umum

2) Kepentingan bangsa dan negara

3) Kepentingan bersama dari rakyat

b. Mekanisme atau cara mencabut hak atas tanah harus dengan :

1) Ganti kerugian yang layak

2) Menurut cara yang diatur dengan undang-undang

UUPA tidak menjelaskan siapa atau lembaga mana yang dapat menguji dan menetapkan terpenuhinya unsur-unsur pada pasal 18 untuk dapat dicabut hak atas tanah. Berdasarkan logika hukum, bahwa yang boleh mencabut hak adalah pihak yang memberikan hak tersebut sebelumnya, dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa hanya negara melalui Pemerintahlah yang dapat memaksakan pencabutan hak atas tanah. Pemaksaan atau upaya yang dilakukan oleh pihak diluar Pemerintah, seyogianya harus dianggap sebagai inkonstitusional yang bertentangan dengan jaminan perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 tentang Undang-undang tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda benda yang Ada di Atasnya, mengenal dua cara untuk pencabutan hak atas tanah, yaitu cara yang biasa dan cara untuk keadaan mendesak. Cara biasa diajukan oleh pihak yang berkepentingan secara berjenjang kepada Pemerintah, sedangkan cara yang tidak biasa inisiatifnya dapat datang dari Pemerintah[14].

Manusia mempunyai hubungan emosional dan spritual dengan tanah. Tanah tidak dapat semata-mata dipandang hanya sebagai komoditas belaka, tetapi hubungan tanah dengan pemiliknya mengandung nilai-nilai budaya, adat, ekonomis, dan spritual tertentu. Karena itulah, masalah pencabutan hak atas tanah, baik dalam bentuk pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan atau kepentingan lainnya harus selalu mempertimbangkan suasana psikologis dari masyarakat atau perorangan yang haknya dicabut. Masalah ganti rugi yang sering menjadi persoalan semestinya tidak semata-mata direduksi hanya untuk penggantian berdasarkan nilai jual objek pajak setempat, tetapi hendaknya mempertimbangkan dampak ikutan dari terserabutnya hak atas tanah tersebut. Menurut A.P Parlindungan[15], ukuran utama ganti rugi atau kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah adalah bahwa seyogianya mereka tidak menjadi lebih miskin dan tidak dapat lagi berusaha setelah tanahnya dibebaskan.













Bab III

Keseimbangan hukum antara penguasaan negara dengan perlindungan terhadap hak milik individu dalam penyelenggaraan hak atas tanah



A. Pembebasan Tanah oleh Negara untuk Kepentingan Pembangunan

Kepentingan pembangunan adalah legitimasi yang paling kuat bagi Pemerintah untuk mengambil alih tanah-tanah perorangan dengan mencabut hak-hak yang sebelumnya melekat pada tanah tersebut. Kepentingan pembangunan dapat dikualifikasikan sebagai kepentingan umum, yang merupakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat secara umum. Dengan kata lain, tersirat makna bahwa kepentingan umum adalah perwujudan dari tugas negara untuk mensejahterakan dan memajukan kepentingan rakyat. Kepentingan umum tidak bermotif komersial. Kepentingan pembangunan harus disesuaikan dan diharomonisasikan dengan konsep penataan wilayah peruntukan, dan tata ruang, serta diberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berimbang mengenai hal tersebut.

Pembebasan tanah untuk kepentingan jalan tol, banjir kanal, waduk bendungan atau pelabuhan udara misalnya tetap saja memperhitungkan manfaat makro yang akan diterima oleh Pemerintah sebagai hasil dari pembangunan tersebut. Namun motivasi utama dalam pembebasan tanah yang muaranya adalah pencabutan hak atas tanah adalah tugas-tugas dan kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan mandat kepemerintahanannya dalam mengabdi kepada kepentingan publik. Bahwa pada akhirnya ada unsur komersial dalam perhitungan Pemerintah untuk pembebasan tanah, unsur tersebut sifatnya adalah pelengkap dan merupakan ikutan dari tujuan atau motif utama untuk kepentingan umum.

Salah satu prinsip dasar yang universal dalam pengambilalihan tanah oleh negara adalah bahwa “ no private property shall be taken for public use without just and fair compensation”, sehingga dalam proses perolehan tanah tersebut hendaknya dapat memperhatikan prinsip-prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal[16]

Persoalan yang sering dikonotasikan sebagai ketidak adilan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan antara lain adalah :

1) Adanya kerja sama antara Pemerintah dengan pihak swasta dalam pembebasan tanah. Kerja sama tersebut dapat berupa kerja sama operasi, build, own, transfer (BOT), Kerja sama pemanfaatan dalam bentuk otorita dan lain-lain. Pemilik asal dapat merasa bahwa kepentingannya dikorbankan untuk kepentingan pihak swasta, sebab tidak dapat dipungkiri dalam logika berusaha, sebagai swasta hanya proyek yang prospektif dan profitabellah yang mereka tertarik untuk bekerja sama. Di sisi lain, Pemerintah di tengah keterbatasan dana, maupun prioritas dan strategi pembangunan, seringkali bahwa kerjasama kemitraan dengan swasta adalah salah satu upaya untuk dapat melaksanakan dan melanjutkan tugas-tugas pembangunannya.



2) Adanya peralih fungsian dari tujuan semula pembebasan tanah

Pembebasan tanah yang semula untuk kepentingan umum, dalam perkembangan lebih lanjut dapat melenceng dari tujuan semula. Pembebasan kompleks olah raga Senayan di ibu kota Republik Indonesia, Jakarta misalnya adalah sebuah contoh aktual. Pembebasan kawasan tersebut semula dimaksudkan adalah untuk kompleks olah raga yang megah dan representatif di Asia sebagai wujud kebanggaan bangsa dalam mengangkat harkat dan semangat bangsa Indonesia yang baru merdeka dan dalam semangat nation building. Dalam perkembangan lanjutannya, sementara masyarakat rela untuk direlokasi dari kawasan tersebut, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, ketika rezim penguasa berganti, kawasan tersebut telah lebih didominasi oleh sektor swasta, sementara tujuan peruntukan semula tinggal hanya asesories belaka.



3) Persoalan ganti rugi

Ganti rugi adalah soal yang pelik untuk dipecahkan. Dari sudut formal kepentingan Pemerintah ganti rugi lebih banyak diartikan ganti rugi material dengan mengambil patokan berdasarkan harga pasar atau harga yang ditetapkan tersendiri oleh Pemerintah, seperti nilai jual objek pajak (NJOP) misalnya. Demikian juga untuk bangunan dan objek lain yang melekat di atasnya, seperti tanaman tumbuh, Pemerintah telah punya rumusan dan tabel-tabel untuk mengkonversi nilai pasarnya.

Pada hal sesungguhnya, ganti rugi tidak sesederhana itu. Komfortabilitas dengan lingkungan, kedekatan dengan prasarana ekonomi atau lokasi pekerjaan, tingkat polusi, keamanan dan faktor stress karena penyesuaian ke lokasi yang baru, adalah persoalan persoalan besar, yang tidak dapat semata-mata diukur dalam nilai penggantian atas tanah dan bangunan yang melekat di atasnya.



B. Ruang lingkup kepentingan umum



Undang-undang nomor 21 tahun 1961 pada pasal 1 menyatakan sebagai berikut : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Kompensasi bagi ex pemilik hak atas tanah.

Dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa biarpun demikian, ketentuan-ketentuan Rancangan Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan pula pencabutan hak guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya.

Sudah barang tentu usaha swasta tersebut rencananya harus disetujui Pemerintah dan sesuai dengan pola pembangunan nasional semesta berencana. Contoh dari pada kepentingan umum itu misalnya pembuatan jalan raya, pelabuhan, bangunan untuk industri dan pertamabangan, perumahan dan kesehatan rakyat serta lain-lain usaha dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana. Jika untuk menyelesaikan sesuatu soal pemakaian tanah tanpa hak oleh rakyat Pemerintah memandang perlu untuk menguasai sebagian tanah kepunyaan pemiliknya, maka, jika pemilik itu tidak bersedia menyerahkan tanah yang bersangkutan atas dasar musyawarah, soal tersebut dapat pula dianggap sebagai suatu kepentingan umum untuk mana dapat dilakukan pencabutan hak.

Produk perundang-undangan yang demikian terkesan lebih mengutamakan kepentingan negara dan pemodal atau sektor swasta dibandingkan dengan perlindungan kepada pemilik tanah asal.

Pemerintah Republik Indonesia, seiring dengan tuntutan zaman yang lebih mengedepankan penghormatan kepada hak-hak individual dan persuasi dalam pembebasan tanah, telah mencoba memperbaiki aturan-aturan untuk pembebasan tanah dalam rangka kepentingan pembangunan dengan memberi batasan yang lebih jelas mengenai ruang lingkup kepentingan umum maupun tata cara dan prosedur untuk pembebasan tanahnya.



Dalam Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, telah mencoba melakukan perbaikan antara lain dengan :

1) Membatasi pengertian dan ruang lingkup pembangunan untuk kepentingan umum

2) Memberi batasan yang jelas yang membedakan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangungan untuk kepentingan umum, dengan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.



C. Perubahan penggunaan dari tujuan semula pengambil alihan tanah

Undang-undang tidak memberikan pengaturan maupun penjelasan atas pembebasan tanah yang semula dimaksudkan untuk tujuan pembangunan dalam konteks kepentingan umum, yang kemudian dialihkan dan beralih tujuannya. Dalam konteks demikian, maka yang dapat dijadikan rujukan hanyalah ketentuan-ketentuan umum hukum perdata, seperti pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur tentang asas itikad baik dimana dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Herlien Budiono[17], di dalam hukum perjanjian adalah penting untuk memegang asas keseimbangan antara kehendak, kepercayaan dan pernyataan.

Asas lainnya yang dapat dimajukan adalah ketentuan pada pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Namun, patut disadari bahwa penggunaan pasal-pasal tersebut berlaku sangat umum. Sedangkan peralihan atau pencabutan hak atas tanah dianggap telah tuntas apabila para pihak telah sepakat dengan penyelesaiannya misalnya dengan ganti rugi, pemberian tanah pengganti dan lain-lain. Tentu saja apabila suatu perjanjian telah ditunaikan, dalam pengertian pemenuhan prestasi dan kontra prestasi telah dilaksanakan, maka perjanjian tersebut dianggap telah berakhir sehingga sangat muskil untuk menggunakan pasal-pasal di atas sebagai dasar untuk mengajukan gugatan ganti rugi.

































Bab IV

Simpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Penguasaan tanah oleh Negara adalah pencerminan dari tanggung jawab publik Negara. Tanggungjawab publik Negara tersebut tercermin dalam :

a. Pengaturan tata guna tanah dalam konsep penataan wilayah dan tata ruang

b. Kewenangan Negara untuk pengaturan peruntukan, pengaturan hubungan hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah, dan pengaturan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum

1. Perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil alih oleh negara, yang peruntukan akhirnya tidak sesuai dengan maksud awal pengambil alihan tersebut pada dasarnya tidak tersedia. Hal tersebut tercermin dalam :

a. Tidak ada sanksi yang diatur oleh Undang-undang bagi pihak yang membebaskan tanah apabila pada akhirnya penggunaan tanah tersebut berbeda dari tujuan semula

b. Tidak ada kompensasi khusus, atau saluran perundang-undangan yang secara langsung tersedia bagi masyarakat yang merasa hak-haknya dirugikan dengan penerimaan ganti rugi atau tanah pengganti, apabila peruntukan tanah dimaksud tidak seperti pada maksud awalnya.



Sampe L. Purba

Jakarta, Maret 2008









Daftar Pustaka

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

A.P.Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform,

CV Mandar Maju, Bandung, 1994

Apeldoorn, L J, Pengantar Ilmu Hukum, alih bahasa Oetarid Sadino,

Pradnya Paramita, Jakarta 2005

Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia,

CV Mandar Maju, Bandung, 2006

Black’s Law Dictionary, fifth ed. , St. Paul, Minn., USA, 1979

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,

Universitas Trisakti, Jakarta, 2007

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan benda Lain yang melekat pada tanah dalam Konsepsi Penerapan asas Pemisahan Horisontal,

PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung 1996

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia,

PT Citra Aditya Bakti,Bandung, 2006

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan,

PT. Alumni, Bandung, 2006

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

ST. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, PT. Alumni, Bandung, 1999

Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, PT. Alumnni, Bandung, 1999

[1] Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 85

[2] L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, alih bahasa Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hal. 296

[3] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, PT. Alumnni, Bandung, 1999, hal. 46

[4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 228

[5] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op.cit, hal. 22

[6] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal.9

[7] Cf. Benjamin L. D’ooge, Latin Super review, Research & Education Association, New Jersey, USA, 2006 pg.386

[8] Black’s Law Dictionary, fifth ed. , St. Paul, Minn., USA, 1979 hal. 61

[9] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan benda Lain yang melekat pada tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horisontal, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung 1996, hal. 105

[10]Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007 ,hal. 46-47

[11]ST. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, PT. Alumni, Bandung, 1999, hal. 51

[12] R. Soeroso, loc.cit

[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 55

[14] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 70

[15] A.P.Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, CV Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 92

[16] Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 227

[17] Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,Bandung, 2006, hal. 411

May 10, 2008 Posted by maspurba | hukum pertanahan | Add new tag, hak asasi, keseimbangan, tanah | No Comments
Kepastian hukum atas sertifikat tanah sebagai bukti hak kepemilikan atas tanah



Kepastian Hukum atas sertifikat tanah sebagai



bukti hak kepemilikan atas tanah



Studi kasus atas sengketa tanah Meruya Selatan







Bab I

Pendahuluan



Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria – yang selanjutnya dalam paper ini disingkat dengan UUPA -, pada pasal 19 dinyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum Pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Atas tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti hak atas tanah, yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah. Dalam pendaftaran tanah, girik yaitu tanda bukti pembayaran pajak atas tanah dapat disertakan untuk proses administrasi. Girik, dengan demikian bukan merupakan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, namun semata-mata hanyalah merupakan bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah. Dengan demikian, apabila di atas bidang tanah yang sama, terdapat klaim dari pemegang girik dengan klaim dari pemegang surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat), maka pemegang sertifikat atas tanah akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Namun demikian, persoalan tidak sesederhana itu. Dalam hal proses kepemilikan surat tanda bukti hak atas tanah melalui hal-hal yang bertentangan dengan hukum, maka akan ada komplikasi.

1

Paper ini akan membahas satu kasus kontemporer yang mengemuka dalam pemberitaan di media massa di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta, yang terkenal dengan kasus tanah Meruya[1].

Kasus tersebut bermula dari rencana eksekusi oleh pemilik hak atas tanah yaitu PT Portanigra, yang membeli tanah tersebut seluas 44 Ha sekitar tahun 1972 yang lalu dari Juhri cs sebagai koordinator penjualan tanah Rencana eksekusi yang akan dilakukan oleh PT Portanigra mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang menempati tanah yang telah memiliki tanda bukti kepemilikan atas tanah dimaksud. Juhri Cs, ternyata setelah menjual tanah tersebut kepada PT Portanigra, menjual lagi tanah itu kepada perorangan, Perusahaan , Pemda dan berbagai instansi. Masyarakat dan berbagai instansi yang membeli dari Juhri Cs kemudian memiliki berbagai tanda bukti hak (sertifikat) atas tanah itu. Atas tindakan Juhri Cs, pengadilan telah menetapkan bahwa tindakan Juhri Cs adalah bertentangan dengan hukum, dan mereka telah dipidana pada tahun 1987 – 1989 atas perbuatan penipuan, pemalsuan dan penggelapan

PT Portanigra, dengan penguatan putusan pidana kepada Juhri Cs, kemudian menggugat secara perdata Juhri cs, untuk mengembalikan tanah-tanah tersebut sekaligus meminta pengadilan untuk meletakkan sita jaminan atas tanah mereka, yang luasnya 44 Hektare. Permohonan sita jaminan dikabulkan oleh hakim dengan penetapan sita jaminan No. 161/Pdt/G/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 24 Maret 1997 dimasukkan dalam berita acara sita jaminan tanggal 1 April 1997 dan tanggal 7 April 1997. Pengadilan Negeri pada tanggal 24 April 1997 menyatakan gugatan PT Portanigra tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard--N/O) karena tidak menyertakan para pemilik tanah lainnya di atas tanah sengketa tersebut.Hakim juga memerintahkan pengangkatan sita jaminan tersebut. Pengadilan Tinggi menolak banding Portanigra dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Namun, di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan PN dan PT serta memutuskan untuk mengadili sendiri. Berdasarkan putusan Kasasi No. 570/K/Pdt/1999 jo.No.161/Pdt.G/1996/PN.JKT.BAR, Mahkamah Agung menerima kasasi PT Portanigra. Pertimbangannya antara lain ialah bahwa pihak ketiga akan dapat melakukan bantahan (verzet) terhadap sita jaminan atau pelaksanaan eksekusi bila memiliki bukti untuk mempertahankan haknya.

Ketika PT Portanigra akan melaksanakan eksekusi atas tanah tersebut, setelah mendapat penetapan dari pengadilan Jakarta Barat pada tahun 2007, dia memperoleh perlawanan dari masyarakat, dan berbagai institusi pihak ketiga, yang memiliki tanda bukti hak atas tanah tersebut. Tanda bukti hak yang dimiliki perorangan, maupun institusi beragam mulai dari hak milik, hak pakai, hak guna usaha dan sebagian diletakkan dengan hak tanggungan. Perlawanan yang diajukan oleh pemegang hak atas tanah (yang sifatnya tidak melalui jalur hukum seperti verzet) memperoleh dukungan moral dan politis dari berbagai lapisan masyarakat seperti Parlemen, Pemda, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Karena kasus ini, telah melebar dan meluas melebihi porsi hukum dan khususnya keperdataan, dan mulai mengarah ke hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas, politik, keamanan dan lain-lain, akhirnya PT Portanigra untuk sementara setuju untuk tidak melaksanakan eksekusi.

Penulis berpendapat, bahwa ternyata persoalan yang semestinya dapat diselesaikan secara hukum, ternyata telah melebar ke luar dari koridor hukum, yang justru menciptakan ketidak pastian hukum. Berkenaan dengan hal tersebut, paper ini akan membahas pokok-pokok sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang telah memperoleh penguatan putusan dari Mahkamah Agung

2. Bagaimana perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat)

3. Bagaimana pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang menerbitkan sertifikat tanah yang ternyata bermasalah















Bab II



Hak-hak atas tanah





A. Hak-hak atas tanah



Hak-hak perorangan dan badan hukum atas tanah memperoleh pengakuan yang kuat dalam sistem dan tata hukum di Indonesia. Hak milik atas tanah adalah bagian dari hak-hak kebendaan yang dijamin dalam konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua, dinyatakan sebagai berikut :



Pasal 28 g

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) pasal 28 h

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.

Selanjutnya dalam UUPA, dinyatakan antara lain sebagai berikut :

Pasal 4 ayat (2)

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.



4

Berdasarkan pengertian pada pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya[2].

Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan horisontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu.[3] Asas pemisahan horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat[4], dan merupakan asas yang dianut oleh UUPA.

Berbeda dengan asas yang dianut oleh UUPA, KUHPerdata menganut asas perlekatan, baik yang sifatnya perlekatan horisontal maupun perlekatan vertikal, yang menyatakan bahwa benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda tidak bergerak, berdasarkan asas asesi maka benda-benda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.[5]

KUHPerdata pasal 571

Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.

Sedangkan dalam UUP dibedakan berbagai hak atas tanah sebagai berikut : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah , memiliki fungsi sosial serta dapat dialihkan dan beralih.

Pasal 20 UUPA menyatakan :

Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat” sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang “ter” (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.

Sedangkan hak-hak penguasaan atas tanah, menurut Boedi Harsono[6], dikelompokkan menjadi hak bangsa, hak menguasai dari negara, hak ulayat, hak perorangan dan hak tanggungan.

B. Cara peralihan hak atas tanah

Hak milik atas tanah mengandung unsur hak kebendaan dan hak perseorangan. Sebagai hak kebendaan, hak atas tanah memiliki ciri-ciri bersifat absolut, jangka waktunya tidak terbatas, hak mengikuti bendanya (droit de suite), dan memberi wewenang yang luas bagi pemiliknya seperti dialihkan, dijaminkan, disewakan atau dipergunakan sendiri. Sebagai hak perseorangan, ciri-cirinya adalah bersifat relatif, jangka waktunya terbatas, mempunyai kekuatan yang sama tidak tergantung saat kelahirannya hak tersebut, memberi wewenang terbatas kepada pemiliknya[7].

Sementara itu, menurut Aslan Noor[8], teori kepemilikan ataupun pengalihan kepemilikan secara perdata atas tanah dikenal empat teori, yaitu :

a. Hukum Kodrat, menyatakan dimanan penguasaan benda-benda yang ada di dunia termasuk tanah merupakan hak kodrati yang timbul dari kepribadian manusia

b. Occupation theory, dimana orang yang pertama kali membuka tanah, menjadi pemiliknya dan dapat diwariskan

c. Contract theory, dimana ada persetujuan diam-diam atau terang-terangan untuk pengalihan tanah

d. Creation theory, menyatakan bahwa hak milik privat atas tanah diperoleh karena hasil kerja dengan cara membukan dan mengusahakan tanah



Mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik yang diikuti dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah, bukan saja hanya sebagai alat bukti untuk pendaftaran tetapi merupakan syarat mutlak adanya perjanjian penyerahan. Pendapat ini diwakili oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Saleh Adiwinata. Pendapat lainnya adalah bahwa perbuatan jual beli tanpa diikuti dengan akta otentik adalah sah, sepanjang diikuti dengan penyerahan konkret. Pendapat ini diwakili oleh Boedi Harsono dan R. Soeprapto.[9] Penyerahan yang sifatnya konsensual sebagaimana dianut hukum perdata sekaligus dengan penyerahan yang sifatnya konkret sebagaimana dianut oleh hukum adat[10] pada dasarnya adalah bertentangan dan dapat terjadi dualisme dalam penafsiran kepastian hukumnya.

Mariam Darus Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran, tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda tanah terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Sebelum dilakukan pendaftaran yang ada baru milik, belum hak[11]. Dalam kaitan itulah, maka salah satu asas dari hak atas tanah adalah adanya asas publisitas.

Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, adalah bersifat stelsel pasif. Artinya yang didaftar adalah hak, peralihan hak dan penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah. Hubungan antara pemindahan dengan alas hak adalah bersifat kausal, karena sifat peralihan hak tersebut adalah bersifat levering. Stelsel negatif ini berakibat :

- Buku tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak

- Peranan yang pasif dari pajak balik nama, artinya pejabat-pejabat pendaftaran tanah tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari dokumen-dokumen yang diserahkan kepada mereka.[12]



Selanjutnya, Mariam Darus Badrulzaman[13] menjelaskan bahwa berrdasarkan ajaran KUHPerdata pada pasal 584, dianut ajaran untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat yaitu :

a. Alas hak (rechttitel)

b. Perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran) dan penerbitan sertifikat

c. Wewenang menguasai (beschikkings bevoegheid)

Pendapat yang dianut Mariam Darus Badrulzaman di atas, tampaknya sangat dipengaruhi oleh ajaran teori causal, yang memandang bahwa hubungan hukum adalah obligatoirnya, sedangkan levering adalah akibatnya. Artinya levering baru sah, dan karenanya baru menjadikan yang menerima penyerahan sebagai pemilik, kalau rechtstitel yang memindahkan hak milik sah.

Di sisi lain, ada juga teori abstraksi yang menganut bahwa ada pemisahan antara levering dengan rechtstitel. Jadi kalau sekiranya ada suatu penyerahan, dimana yang melakukan penyerahan tidak memiliki titel, penyerahan tersebut tetap sah. Pemilik asal tidak dapat menuntut hak kebendaan dari pihak ketiga, yang membeli dengan itikad baik. Tuntutan pemilik asal adalah tuntutan pribadi terhadap orang yang mengalihkan hak kepada pihak ketiga tadi tanpa hak. [14]

Pandangan para pakar di atas sangat menentukan dalam hal ada dua kepemilikan atas objek yang sama untuk menentukan pemilik dan pemegan hak yang sesungguhnya.

C. Pencabutan hak-hak atas tanah

Mengenai hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila kepentingan Negara atau kepentingan umum menghendaki, hak kepemilikan perorangan atau badan usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi. Prinsip ini dianut baik dalam KUHPerdata maupun dalam UUPA.

Pasal 570 KUHPerdata

Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.

Pasal 16 ayat 4 UUPA

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Pengertian kepentingan umum, harus dijaga dengan ketat untuk tidak melebar dan terlalu elastis sehingga hal-hal yang tidak seyogianya digolongkan sebagai kepentingan umum, tetapi justru memperoleh penguatan dan legitimasi. Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang abstrak dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di masyarakat, dan dapat menjurus kepada ketidakpastian yang baru dan menimbulkan konflik di masyarakat. Karena itu harus ada pengertian yang konkret akan makna kepentingan umum[15].

Dalam Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 pada pasal 2 dinyatakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pada pasal 5 diatur secara limitatif bidang-bidang yang termasuk dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum.

Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa yang dimaksudkan untuk pembangunan kepentingan umum haruslah yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak selain Pemerintah, berdasarkan aturan PP tersebut di atas tidak dapat digolongkan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum.



Bab III



Kepastian dan perlindungan hukum atas hak atas tanah



A. Duduk perkara sengketa pertanahan tanah Meruya



Apabila diikhtisarkan dari berbagai pemberitaan dan kutipan-kutipan putusan pengadilan, maka sengketa tanah di atas dapat dipetakan sebagai berikut :

1. Ada klaim kepemilikan ganda atas suatu objek yang sama. Kepemilikan PT Portanigra didasarkan pada perjanjian jual beli dengan pemilik tanah asal yang dikoordinir oleh Juhri Cs. Bukti kepemilikan tanah dalam rangka jual beli itu adalah girik yang diserahkan kepada pembeli. Pembelian tanah dikukuhkan dengan akta jual beli. Tahapan lanjut untuk pendaftaran tanah dan sertifikasi tanah belum dilaksanakan.

2. Tanah yang sama oleh Juhri cs, kemudian dijual lagi kepada Perorangan, Badan-badan Hukum dan Pemda. Beberapa kali peralihan tanah telah terjadi oleh pembeli tingkat kedua, seperti Pemda yang menjual sebagian tanah tersebut kepada masyarakat, ataupun perorangan yang memperjual belikan tanah itu kembali.

3. Tanah-tanah yang dibeli oleh perorangan, Badan-badan Hukum, Pemda dari Juhri Cs maupun yang kemudian dialihkan oleh para pembeli tersebut kepada pihak lain, dilengkapi dengan akta jual beli, serta didaftarkan dan memperoleh sertifikat tanah

4. Pengadilan memutuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Juhri Cs, dalam menjual kembali tanah-tanah tersebut adalah melawan hukum. Girik yang digunakan dalam transaksi jual beli adalah palsu, karena girik yang asli telah diserahkan kepada PT Portanigra. Pengadilan memutuskan pidana penggelapan dan pemalsuan kepada Juhri Cs.

5. Pengadilan mengabulkan kasasi perdata PT Portanigra kepada Juhri Cs

6. Juhri Cs merencanakan untuk mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan kasasi Mahkamah Agung

11



B. Kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak



1. Kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli pertama (PT Portanigra)



Berdasarkan landasan teori pada bab sebelumnya, apabila dengan melihat kepada transaksi jual beli tanah, dapat diberikan analisis sebagai berikut :

a. Transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra dengan Juhri Cs adalah sah

b. Transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra dengan Juhri Cs, yang tidak atau belum dilanjutkan dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat tanah, membawa akibat hukum bahwa bukti kepemilikan PT Portanigra atas tanah tersebut belum lengkap

c. Akta jual beli berdasarkan akta otentik adalah sah, sepanjang menyangkut penyerahannya. Dengan demikian, kepemilikan yang dipunyai PT Portanigra adalah kepemilikan yang bersifat kebendaan, bukan kepemilikan yang bersifat hak perorangan.

d. Kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung, sifatnya adalah pemulihan hak kebendaan atas tanah tersebut. Untuk mendapatkan hak milik, maka PT Portanigra harus melanjutkan dengan prosedur normal dengan melakukan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat hak



Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, menurut penulis terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi yaitu :

a. Fakta hukum bahwa PT Portanigra tidak memiliki sertifikat tanah, kecuali akta jual beli selama lebih dari 30 tahun mengindikasikan bahwa proses perolehan tanah tersebut dari awal adalah bermasalah

b. Fakta hukum bahwa PT Portanigra menggunakan putusan pidana kepada Juhri Cs sebagai alas gugatan perdata dapat dibenarkan. Namun, gugatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai error in persona, maupun error in substantia, karena faktanya Juhri Cs tidak pernah berstatus lagi sebagai pemilik tanah, sedangkan transaksi jual beli tanah yang dilaksanakannya tanpa hak telah dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan. Gugatan seharusnya dibuat terhadap pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut, dan juga kepada Pemerintah c/q BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang telah menerbitkan berbagai hak di atas tanah yang merupakan miliknya kepada orang lain tanpa seizinnya.

c. Menjadi pertanyaan pula, kenapa dalam tenggang waktu yang sedemikian lama, PT Portanigra tidak melakukan proses hukum untuk perolehan hak atas tanah dengan memohonkan pendaftaran tanah dan sertifikasi, tetapi lebih memilih jalur gugatan kepada Juhri Cs yang sebenarnya tidak lagi memiliki hubungan hukum dengan tanah tersebut.

2. Kepastian dan perlindungan hukum bagi Juhri cs

a. Juhri Cs telah menerima hukuman pidana atas perbuatan penggelapan dan pemalsuan surat-surat tanah dan surat-surat lainnya dalam rangka jual beli tanah kepada pihak lainnya

b. Juhri Cs telah mengembalikan uang yang timbul dari hasil penjualan kembali tanah tersebut melalui negara.

c. Juhri Cs tidak mempunyai klaim kepemilikan apapun lagi atas tanah tersebut.

d. Juhri Cs berencana akan melakukan perlawanan dengan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, penulis memberikan komentar sebagai berikut :

a. Hukuman pidana dan pengembalian uang yang dilakukan oleh Juhri Cs adalah membuktikan bahwa mereka tidak dalam kapasitas yang sah untuk melakukan transaksi penjualan kembali tanah yang bukan merupakan miliknya

b. Status uang yang dikembalikan patut dipertanyakan. Uang tersebut tidak dikembalikan kepada PT Portanigra, maupun kepada masyarakat atau Pemda yang membeli tanah melalui Juhri Cs. Uang yang dikembalikan adalah jasa untuk urusan memperlancar jual beli yang ternyata tidak lancar, bukan uang hasil penjualan tanah.

c. Upaya hukum Peninjauan Kembali ( PK) yang akan ditempuh oleh Juhri Cs juga kehilangan justifikasi dan pijakan hukumnya. Atas dasar apa Juhri Cs mengajukan PK. Juhri Cs bukan merupakan pemilik tanah. Tanah tidak dalam penguasaan Juhri Cs. Bukti-bukti kepemilikan tanahpun tidak ada pada Juhri Cs. Sepanjang menyangkut enforceability (daya paksa) dari putusan kasasi mahkamah agung, tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap Juhri Cs.



3. Kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli dari Juhri Cs

a. Pembeli tanah dari Juhri Cs, baik perorangan, Badan Hukum maupun Pemda telah melakukan transaksi jual beli dengan akte otentik, pendaftaran tanah, hingga memperoleh sertifikat tanah

b. Pengalihan tanah dari para pembeli awal, kepada pembeli kemudian, serta para pihak yang saat ini secara nyata menduduki baik secara hukum maupun konkret, telah berlangsung sesuai dengan aturan dari Pemerintah.

c. Para pihak yang menduduki dan memiliki hak atas tanah saat ini, di atas lahan sengketa, memiliki kepemilikan hak yang beragam seperti hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, maupun hak tanggungan

d. Hukum melindungi para pembeli dengan itikad baik[16]. Dalam hukum berlaku satu asas, yaitu bahwa kejujuran itu dianggap ada pada setiap orang, sedangkan ketidak jujuran harus dibuktikan.[17]

e. Hukum juga memberi perlindungan absolut dan relatif, karena kepemilikan pada pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut saat ini adalah kepemilikan kebendaan maupun kepemilikan perorangan







4. Tanggungjawab Pemerintah atas terbitnya sertifikat tanah di atas lahan sengketa

Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional harus dapat dimintai pertanggungjawaban atas terbitnya sertifikat di atas lahan sengketa.

Putusan pengadilan perdata dan pengadilan pidana yang tidak dijadikan refensi mengakibatkan proses sertifikasi tetap dapat diteruskan. Hal tersebut dapat disimpulkan dari kronologi fakta hukum berikut :

a. 1985– 1987 : Pengadilan Pidana telah menghukum Juhri Cs (tiga orang, dengan tiga berkas kasus) , atas kejahatan pemalsuan dan penggelapan girik dan kuitansi dalam proses jual beli tanah yang telah dijual sebelumnya kepada PT Portanigra

b. Maret 1997 Hakim Pengadilan Perdata mengabulkan permohonan sita jaminan atas tanah sengketa

c. April 1997 Hakim Pengadilan Negeri, menolak gugatan perdata PT Portanigra dengan N/O atau tidak dapat menerima gugatan, dan meminta agar gugatan diperbaiki kembali dengan memperluas pihak tergugat. Namun, sekaligus juga memutuskan untuk mengangkat atau membatalkan sita jaminan yang sebelumnya telah diletakkan pada tanah sengketa.

d. Oktober 1997, Pengadilan Tinggi memperkuat dan sependapat dengan Pengadilan Negeri

e. Juni 2001, Mahkamah Agung menerima kasasi PT Portanigra.



Menurut penulis, akar persoalan dalam perkara ini adalah dari pengadilan dan birokrasi sendiri, sebagai berikut :

Persoalan yuridis dalam putusan ini ada dua yaitu :

a. Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pada dasarnya tidak memeriksa pokok perkara, namun mengembalikan kepada penggugat untuk memperbaiki dan melengkapi gugatan. Namun pada saat yang sama, meniadakan sita jaminan yang telah diputuskan sebelumnya. Hal ini lah yang membuat Badan Pertanahan Nasional dapat memproses lanjut permohonan sertifikasi yang diajukan masyarakat.

Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menolak gugatan sudah benar, namun tindakan pengadilan negeri yang dikuatkan oleh pengadilan tinggi dalam mengangkat sita jaminan yang sebelumnya adalah tidak tepat. Bagaimana pengadilan dapat memutuskan untuk mengangkat sita jaminan sedangkan pokok perkaranya sendiri tidak atau belum diperiksa.

b. Amar Putusan Kasasi yang mengabulkan permohonan PT Portanigra, pada dasarnya menyatakan bahwa sita jaminan dianggap sah dan berharga, Juhri Cs melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus wanprestasi. Selain itu menyatakan Portanigra sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa berdasarkan bukti-bukti, serta menghukum Juhri Cs dan semua orang yang mendapatkan hak dari mereka untuk mengosongkan tanah-tanah milik adat tersebut dan menyerahkannya dalam keadaan kosong kepada Portanigra.

Putusan kasasi yang memperluas akibat putusan kepada orang-orang yang tidak merupakan pihak dalam perkara gugatan menurut penulis tidak tepat. Dalam konstruksi hukum perdata pada pasal 1340 dinyatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, dan juga tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya.

Putusan kasasi yang menyatakan bahwa sita jaminan adalah sah, adalah tepat. Namun memeriksa dan memutuskan gugatan dimana gugatan meliputi pihak-pihak yang tidak diikutkan sebagai tergugat serta adalah tidak tepat. Benar bahwa pihak ketiga yang berkepentingan dapat menempuh upaya hukum perlawanan atau verzet. Cara ini dibenarkan apabila akibat suatu putusan membawa akibat kepada pihak ketiga yang bukan tergugat, dan dalam pokok gugatan tidak menyinggung pihak ketiga tersebut. Dalam kasus PT Portanigra, pokok gugatannya telah meliputi pihak-pihak lain di luar Juhri Cs, namun tidak diikutkan sebagai tergugat serta.



Sedangkan persoalan yang terkait dengan birokrasi juga ada dua yaitu :



a. Dalam perkara pidana, telah diketahui bahwa terdapat pemalsuan dan penggelapan atas surat-surat jual beli yang dilakukan oleh Juhri Cs. Seyogianya aparat birokrasi di BPN harus menggunakan fakta hukum tersebut untuk tidak memproses pendaftaran tanah dan sertifikasi.

b. Birokrasi atau BPN seharusnya, dengan alasan pada bagian a di atas, seharusnya tidak memproses lanjut permohonan pendaftaran tanah dalam rangka sertifikasi tanah. Pengangkatan sita jaminan yang dilakukan oleh pengadilan negeri dan dikuatkan oleh pengadilan tinggi tidak berarti bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa.

Di satu sisi, Putusan pengadilan perdata yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, karena proses kasasi masih berjalan, digunakan oleh BPN untuk memproses lanjut sertifikasi. Di sisi lain, fakta hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di pengadilan pidana, dikesampingkan oleh BPN.

Sebenarnya, kalau para pihak yang terkait mempelajari dengan cermat, yurisprudensi mengenai hal tersebut telah ada. Yurisprudensi tersebut memberi keseimbangan bagi para pihak dalam hal memohon proses sertifikasi. Dalam yurisprudensi MA no. 1588/K/Pdt/2001 terdapat kaedah hukum yang menyatakan sebagai berikut :

*Sertifikat tanah yang terbit terlebih dulu dari akta jual beli tidak berdasarkan hukum dan dinyatakan batal. Penerbitan sertifikat tanpa ada pengajuan dari pemilik adalah tidak sah”

BPN seyogianya menunda proses sertifikasi, karena tanah tersebut masih dalam status sengketa. BPN juga tahu bahwa girik, petuk pajak ataupun Letter C yang diajukan oleh masyarakat dalam proses pendaftaran tanah dan sertifikasi bukan merupakan alat bukti pemilikan atas tanah.[18]



Masyarakat, dan para pihak lainnya yang dalam proses jual beli tanah adalah dengan itikad baik, akan dirugikan dengan adanya persoalan tersebut. Upaya hukum bagi masyarakat yang dirugikan dari kasus ini adalah antara lain:

a. Melakukan perlawanan (verzet) atas putusan mahkamah agung

b. Melakukan gugatan perdata kepada Juhri Cs

c. Melakukan gugatan tata usaha negara kepada Badan Pertanahan Nasional

d. Mencari dengan cara sendiri-sendiri upaya perdamaian atau upaya lain untuk mempertahankan hak-haknya



C. Aliran post modernisme dalam mencari keadilan



Cita-cita hukum yang baik adalah untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Apabila ada pertentangan antaran kepastian hukum dengan keadilan, maka unsur keadilan harus dikedepankan dan dimenangkan. Kepastian hukum adalah sebuah falsafah positivisme dimana untuk mendapatkan titik temu antara para pihak yang kepentingannya berbeda-beda, maka harus dicari suatu rujukan yang telah disepakati, dilegalkan dan diformalitaskan serta enforceable oleh aparat hukum sebagai penjelmaan dari kedaulatan birokrasi negara.

Tetapi mana kala, dengan saluran formal yang mengedepankan kepastian hukum tidak mencerminkan adanya keadilan, maka pencari keadilan akan menemukan caranya sendiri untuk mendapatkan keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum yang ideal adalah hukum yang memberi keadilan. Namun manakala keadilan tersebut tidak ditemukan lewat saluran formal, akan terjadi apatisme hukum, yang bahkan pada titik ekstrim akan dapat menjelma menjadi chaos karena masing-masing pihak akan mencari, menafsirkan dan mengenforce keadilan menurut persepsinya masing-masing. Fenomena yang demikian ini, sebenarnya telah dikaji dalam satu aliran hukum post modernisme yang bernama critical legal studies.



Munir Fuady[19] mencatat, aliran critical legal studies merupakan suatu aliran yang bersikap anti liberal, anti objektivisme, anti formalisme, dan anti kemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir post modern, secara radikal mendobrak dan menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/ mayoritas/ berkuasa/ kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, serta menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, serta menolak kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dihasilkan lembaga-lembaga formal negara.

Kasus tanah di Meruya Selatan yang menjadi pembahasan paper ini adalah contoh nyata. Masyarakat, yang menurut hukum harus dilindungi sebagai pembeli beritikad baik, ternyata tidak mendapatkan perlindungan itu. Ketika pengadilan negeri yang memperoleh legitimasi formal dari negara akan mengeksekusi suatu putusan mahkamah agung, kalangan masyarakat justru tidak menerimanya. Bahkan dukungan non legal diperoleh baik dari institusi parlemen, pemda maupun badan-badan kenegaraan lainnya seperti komisi-komisi nasional yang bergerak di bidang advokasi kepentingan masyarakat. Ini sesungguhnya adalah sebuah ironi di negara yang berdasarkan hukum, dimana tidak ada kepercayaan kepada lembaga dan pranata hukum yang ada.











Bab IV



Simpulan





Sehubungan dengan pembahasan pada paper ini dalam kaitannya dengan sengketa tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat antara PT Portanigra dengan Juhri Cs dapat disimpulkan sebagai berikut :





1. Perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang telah memperoleh penguatan putusan dari Mahkamah Agung, tampaknya tidak dapat diperoleh secara utuh, karena :

a. Beberapa upaya hukum yang lain, seperti verzet maupun peninjauan kembali masih terbuka

b. Sebagian terbesar kalangan di masyarakat mempunyai persepsi berbeda dan menganggap bahwa putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan

2. Perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat), juga tidak utuh, karena :

a. Pemegang sertifikat hak milik, diabaikan haknya untuk diikutkan sebagai pihak turut tergugat, dan hanya dibuka upaya hukum melalui verzet

b. Proses perolehan sertifikat yang bermasalah menimbulkan potensi gugatan di kemudian hari

3. Institusi pemerintahan yang menerbitkan sertifikat tanah yang ternyata bermasalah seyogianya dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata, dan tuntutan ganti rugi. Namun mengingat sistem pendaftaran tanah yang stelsel pasif, akan dapat membebaskan institusi pemerintahan dari tanggungjawab yuridis keperdataannya.

Jakarta, Maret 2008

Sampe L. Purba

Daftar Pustaka



Buku



Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia,

Mandar Maju, Bandung, 2006

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisakti, ed. 3 Jakarta, 2007

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang,

PT Alumni Bandung, 1999

John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum,

Sinar Grafika, Jakarta, 1994

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,

PT. Alumni, Bandung, 1997

Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Post Modern, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2005

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, cet. 32, Jakarta, 2005



Perundang-undangan



Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria

Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Presiden no. 65 tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan no. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

[1] Diikhtisarkan dan diakses dari www.hukumonline.com

[2] Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisakti, ed. 3 Jakarta, 2007, hal. 63

[3] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 76

[4] Dalam implementasi asas pemisahan horisontal, atas tanah adat di tanah batak berlaku ungkapan “ Habang Lali ndang habang tungko”, yang secara harfiah berarti “ Elang boleh terbang dari tungkul perhinggapannya, namun tungkul itu tetap tinggal”. Pengertian ungkapan ini adalah bahwa apabila anggota masyarakat adat membangun rumah di atas tanah ulayat adat, kepemilikannya hanya terbatas pada rumahnya itu saja. Apabila dia meninggalkan tanahnya, dia boleh mengangkat bangunan rumahnya, namun tanahnya kembali menjadi milik masyarakat ulayat adat.

[5] Djuhaendah Hasan, ibid, hal. 70

[6] Boedi Harsono, op.cit, hal. 40 - 41

[7]Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT. Alumni, Bandung, 1997, hal. 31

[8] Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 28-29

[9] John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 34-35

[10] Asas asas hukum adat tidak mendapatkan penjelasan dalam UUPA. Djuhaendah Hasan menyatakan asas hukum adat antara lain adalah asas kontan konkret, asas kekeluargaan dan asas kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Cf. Djuhaendah Hasan, Op.cit, hal. 114

[11] Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 37

[12] Ibid, hal. 59

[13] Ibid, hal. 36

[14] J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, PT Alumni Bandung, 1999, hal. 12-13

[15] Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 290

[16] Pasal 1965 KUHPerdata : Itikad baik selamanya harus dianggap tetap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikada buruk diwajibkan membuktikannya

[17] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, cet. 32, Jakarta, 2005, hal. 64

[18] Djuhaendah Hasan, op.cit, hal. 211

[19] Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Post Modern, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 7

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda