Selasa, 07 April 2009

SEJARAH HUKUM PERDATA

1. HUKUM PERDATA BELANDA

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).

Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :

1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.

Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.



2. HUKUM PERDATA INDONESIA

Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.

Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945

Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS

B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RI pada saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesia sebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.

4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963

Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :

1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan

5. HUKUM PERDATA NASIONAL

Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis. BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum perdata dikatakan nasional, yaitu :

a. Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Untuk mengetahui hal ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada hukum yang hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.

b. Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila maka sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi & peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.

c. Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia. Hukum perdata nasional harus produk hukum pembuat Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5 ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan & pembentukan hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus produk hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.

d. Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah pendukung hak dan kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaitu Indonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam masyarakat.

e. Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia di luar negeri. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah Indonesia merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem nilai budaya Pancasila terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.



SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA

1. Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan . Asal mula menunjukank kepada sejarah asal dan pembentukanya. Sedangan tempat menunjukan kepada rumusan dimuat dan dapat dibaca .

2. Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah asal nya hukum perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonia Belanda yang terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) . Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 B. W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan undang – undang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber dalam arti pembentukannya adalah pembentukan undang – undang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk juga aturan peralihan.Atas dasar aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan berlakunya B. W ( KUHPdt ). Sumber dalam arti asal mula disebut sumber hukum dalam arti formal.

3. Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti “tempat” adalah Lembaran Negara atau dahulu dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana dirumuskan ketentuan Undang-Undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum. Misalnya Stb.1847-23 memuat B.W/KUHPdt. Selain itu juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum perdata pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai warisan, badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut sumber dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti material umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonia, terutama yang terdapat di dalam Staatsblad. Sedang yang lain sebagian besar berupa yurisprudensi MA-RI & sebagian kecil saja dalam Lembaran Negara RI.


KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA

1. Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa dan dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan, hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata negara. Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa, maka Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu, mis. PP, PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat dilaksanakan tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-Undang & peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan peraturan perkawinan, himpunan peraturan. Apabila Undang-Undang dibuat dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi adalah :

q meliputi bidang hukum tertentu

q tersusun secara sistematis

q memuat materi yang lengkap

q penerapannya memberikan penyelesaian tuntas

Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya disusun secara berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum kepada bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi antara pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkap , artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan penyelesaian tuntas , artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana semua ketentuan langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi berasal dari kata COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi artinya penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab Undang-Undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas. Contoh kodifikasi ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koophandel,Failissement Verordening, Wetboek van Strafecht.

2. Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :

q kitab undang – undang tersusun atas buku – buku

q tiap buku tersusun atas bab – bab

q tiap bab tersusun atas bagian – bagian

q tiap bagian tersusun atas pasal – pasal

q tiap pasal tersusun atas ayat – ayat

Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi sebagai berikut :

I. kelompok materi mengenai orang

II. kelompok materi mengenai benda

III. kelompok nateri mengenai perikatan

IV. kelompok materi mengenai pembuktian

Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :

I. kelompok materi mengenai orang

II. kelompok materi mengenai keluarga

III. kelompok materi mengenai harta kekayaan

IV. kelompok materi mengenai pewarisan

Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :

I. Buku I mengenai Orang

II. Buku II mengenai Benda

III. Buku II mengenai Perikatan

IV. Buku IV mengenai Pembuktian

SISTEMATIKA KUHPdt.

Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt. Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

I. Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.

II. Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan segala akibatnya).

III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang meliputi benda dan perikatan.

IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan, sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal (hukum acara perdata).
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA

Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun dasar berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang , perjanjian yang dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan adalah pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban selalu diimbangi dengan hak.

1. Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata karena ketentuan Undang-Undang artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban agar hukum dilaksanakan. Undang-Undang mengikat semua orang atau setiap orang wajib mematuhi Undang-Undang, yang jika tidak patuhi akan disebut sebagai pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa dan bersifat sukarela. Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan baik dengan berbuat atau tidak berbuat. Pelaksanan kewajiban hukum dengan berbuat misalnya :

a. Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi syarat & prosedur kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;

b. Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi syarat akta Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;

c. Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban membayar kerugian kepada yang dirugikan.

d. Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga barang supaya memperoleh hak atas barang yang dibeli

Pelaksanaan kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :

a. Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat monogami.

b. Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak bersetubuh dengan wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh hak atas status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng

c. Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak membajak hak cipta milik orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari penututan.

Sukarela berarti terserah pada kehendak yang bersangkutan apakah bersedia melaksanakan kewajiban tersebut atau tidak [tidak ada paksaan], kewajiaban tersebut menyangkut kepentingan sendiri. Dalam pelaksanaan kewajiban sukarela saksi hukum tidak berperan. Adapun kewajiban hukum karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapakan oleh undang – undang . Jadi Undang-Undang menciptakan hubungan hukum antara para pihak. Hubungan mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara pihak pihak. Hubungan hukum dapat tercipta karena adanya peristiwa hukum karena :

a. kejadian misalnya kelahiran, kematian;

b. perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa

c. keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak

Dalam Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik adanya hak dan kewajiban

2. Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya. Perjanjian harus sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt). Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perbuatan perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang piutang. Ada 2 macam perjanjian yaitu :

1. Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan. Ada 2 jenis :

q perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf melahirkan kewajiban dan hak;

q perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam taraf memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.

2. Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjian terletak dalam bidang moral dan kesusilaan.

Supaya penerimaan kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap maka pada perjanjian tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di depan Notaris.

3. Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena ditetapkan oleh hakim melalui putusan. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan dalam hukum perdata. Untuk menyelesaikannya dan menetapkan siapa sebenarnya berkewajiban dan berhak menuntut hukum perdata, maka hakim karena jabatanya memutuskan sengketa tersebut. Putusan hakim bersifat memaksa artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak mematuhinya hakim dapat melaksanakan putusannya dengan paksa, bila perlu dengan bantuan alat negara.

4. Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat berlakunya hukum perdata, yaitu adanya pelaksanaan pemenuhan [prestasi] dan realisasi kewajiban hukum perdata. Ada 3 kemungkinan hasilnya yaitu [1] tercapainya tujuan apabila kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan hak timbal balik secara penuh [2] tidak tercapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan yang bukan tujuan yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum. Apabila kedua belah pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak akan menimbulkan kewajiban. Sebab kewajiban hukum pada hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan. Jadi belum dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak telah melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak melaksanakan kewajiban hukum barulah ada masalah wanprestasi yang mengakibatkan tujuan tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi hukum.

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DAN BATAS-BATASNYA

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DAN BATAS-BATASNYA
DALAM HUKUM PERJANJIAN
Dalam Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat  (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya .
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik  tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan .
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak  yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.
Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.
Apakah asas kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai bebas mutlak? apabila kita mempelajari KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.
Pasal 1320 ayat (1) m enentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Dalam pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini tidak berlaku.
Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum .
Pasal 1320 ayat jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang .
Menurut undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.
Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.
Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya[i] menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Lebih lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut. Kalau hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong, sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah aneh kalau orang tua miskin tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral disini janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan .
Dalam ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam Undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui Yurisprudensi.
Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau yang mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak, Yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat), menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang .
Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal,tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi penyalahgunaan ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto  terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.
Dengan demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.

Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia  

Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
 
Menimbang :
 
a.       bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b.       bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian duma dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
c.       bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimlai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut;
d.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undarig tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
 
 
Mengingat :
 
1.       Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.       Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 35 Tahun 1 999 tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor 14 Tahun I 970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tam bahan Lembar Negara Nomor 3879);
3.       Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1 986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327 )
4.       Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
 
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 
MEMUTUSKAN:
 
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA.
 
 
BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.       Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2.       Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang undang ini.
3.       Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
4.       Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual.
5.       Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
 
BAB  II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN HAM
Bagian Kesatu
Kedudukan
 
Pasal 2
 
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di Lingkungan Peradilan Umum.
 
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
 
Pasal 3
(1)     Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2)     Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
 
 
BAB III
LINGKUP KEWENANGAN
 
Pasal 4
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
 
Pasal 5
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia
 
Pasal 6
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
 
Pasal 7
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
 
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.       membunuh anggota kelompok;
b.       mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.       menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d.       memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
c.       memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.
 
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,berupa:
a.       pembunuhan;
b.       pemusnahan;
c.       perbudakan;
d.       pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.       perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional;
f.        penyiksaan;
g.       perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h.       pengamayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jems kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i.        penghilangan orang secara Paksa; atau
j.        kejahatan apartheid.
BAB IV
HUKUM ACARA
 
Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 10
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
 
Bagian Kedua
Penangkapan
 
Pasal 11
(1)     Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2)     Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalan ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan.
(3)     Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan,
(4)     Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik.
(5)     Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
untuk paling lama I (satu) hari.
(6)     Masa penangkapan dikurangkan dan pidana yang dijatuhkan.
 
Bagian Ketiga
Penahanan
 
Pasal 12
(1)     Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.
(2)     Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3)     Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
 
Pasal 13
(1)     Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari,
(2)     Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3)     Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam pu]uh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
 
Pasal 14
(1)    Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(2)     Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3)     Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
 
Pasal 15
(1)     Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
(2)     Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
 
Pasal 16
(1)     Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di
Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2)     Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 17
 
(1)     Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2)     Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
 
Bagian Keempat
Penyelidikan
 
Pasal 18
(1)     Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2)     Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
 
Pasal 19
(1)     Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang:
a.       melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b.       menerima laporan atau pengaduan dan seseorang atau kelompok orang tentang teradinya pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang
bukti;
c.       memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang
diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;
d.       memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e.       memnjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian
dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f.        memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan
secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan
sesuai dengan aslinya;
g.       atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1)      pemeriksaan surat;
2)      penggeledahan dan  penyitaan;
3)      pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4)      mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
(2)     Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.
 
Pasal 20
(1)     Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.
(2)    Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.
(3)     Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasol penyelidikan sebagaimana dimaksud dalain ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.
 
Bagian Kelima
Penyidikan
 
Pasal 21
(1)     Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2)     Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan.
(3)     Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas
unsur pemerintah dan atau masyanakat.
(4)     Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan
sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
(5)     Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi
syarat :
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.       berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c.       berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
d.       sehat jasmani dan rohani;
e.       berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.        setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g.       memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
 
Pasal 22
(1)     Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal basil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
(2)     Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3)     Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua PengadilanHAM  sesuai dengan daerah hukumnya.
(4)     Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
(5)     Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan
(6)     Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Bagian Keenam
Penuntutan
 
Pasal23
(1)     Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2)     Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umun ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat
(3)     Sebelum i tugasnya penuntut umum ad hoc mcngucapkan sumpah atau janji menurut ngamanya masing n as in g.
(4)     Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.       berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c.       berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
d.       sehat jasmani dan rohani;
e.       berwibawa,jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.        setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g.       memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia
 
Pasal 24
Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
 
Pasal 25
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
 
Bagian Ketujuh
Sumpah
 
Pasal 26
Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut:
 "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpahi/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dan siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas nii dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
 
Paragraf 1
Umum
 
Pasal 27
(1)     Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM sebagai mana dimaksud dalam Pasal 4.
(2)    Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah  5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3)     Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dan Pengadilan HAM yang bersangkutan.
 
Pasal 28
(1)     Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2)     Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
(3)     Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
 
Paragraf 2
Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:
1.       warga negara Republik Indonesia;
2.       bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.       berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
4.       berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
5.       sehat jasmani dan rohani;
6.       berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7.       setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
8.       memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang hak asasi manusia.
 
Pasal 30
Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing yang lafalnya berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dan siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, Serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik "
"Saya bersumpah/berjanji  bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda- bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil - adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
 
Paragraf 3
Acara Pemeriksaan
 
Pasa 31
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM.
 
Pasal 32
(1)     Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.
(2)     Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3)     Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
(4)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
 
Pasal 33
(1)     Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
(2)     Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3)     Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang.
(4)     Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(5)     Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun.
(6)     Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah
Agung harus memenuhi syarat:
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.       bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.       berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
d.       berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
e.       sehat jasmani dan rohani;
f.        berwibawa,  jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g.       setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h.       memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
 
 
BAB VI
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSl
 
Pasal 34
(1)     Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dan
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dan pihak manapun.
(2)     Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan
secara cuma-cuma.
(3)     Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 
 
BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
 
Pasal 35
(1)     Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2)    Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3)     Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur Iebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 
 
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
 
Pasal 36
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 
Pasal 37
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (duapuluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 
Pasal 38
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
 
Pasal 39
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
 
Pasal 40
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 
Pasal 41
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
 
Pasal 42
(1)     Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dan tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a.       komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b.       komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2)     Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a.       atasan tersebut mengetahul atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b.       atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3)     Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40,
 
 
BAB VIII
PENGADILAN HAM AD HOC
 
Pasal 43
(1)     Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc.
(2)     Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3)     Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
 
Pasal 44
Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
 
 
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 45
(1)     Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku
Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.
(2)     Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di:
a.       Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah;
b.       Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur;
c.       Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya;
d.       Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
 
 
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 46
Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
 
Pasal 47
(1)     Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2)    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.
 
Pasal 48
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
 
Pasal 49
Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini.
 
Pasal 50
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan
ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 
Pasal 51
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
 
 
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
 
 
 
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
 
 
I. UMUM
Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945,Deklarasi Universal tentang Flak Asas Manusia, Ketetapan MPR-I
Nomor XVIIIMPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Pancasila dan Undang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional.
Ketetapan MPR-RI Nornor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-undang Nomor39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-undang tersebutmerupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Disamping hal tersebut, pebentukan Undang - undang tentang Hlak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan rnelaksanakan Deklarasi Universal Hlak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia.
 
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dan kepentingan nasional maupun dan kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dasar pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 304 ayat (1) Undang undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
1.       Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan "extra ordinary crimes" dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia;
2.       Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan  langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah :
a.       diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc;
b.       diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana;
c.       diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan;
d.       diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi;
e.       diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukurn internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:  " Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk menieriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada dilingkungan Peradilan Umum.
Disamping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-undang ini rnenyebutkan juga keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan undang-undang dimaksudkan sebagai lembaga ekstra-yudicial yang ditetapkan dengan undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
 
 
II PASAL DEMI PASAL
 
Pasal 1 sampai pasal 3
Cukup jelas
 
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus" dalam ketentuan ini adalah termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Pasal 5
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara
Indonesia yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini.
 
 
Pasal 6
 
Seseorang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri.
 
Pasal 7
"Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan" dalam ketentuan ini sesuai dengan "Rome Statute of The International Criminal court" (Pasal 6 dan Pasal 7).
 
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan "anggota kelompok" adalah seorang atau lebih anggota kelompok.
Huruf b sampai huruf e
Cukup jelas
 
Pasal 9
Yang dimaksud dengan "serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil" adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pembunuhan" adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Huruf  b
Yang dimaksud dengan "pemusnahan" meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbudakan" dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa " adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.
Huruf e
Cukupjelas
 
Huruf f
Yang dimaksud dengan "penyiksaan" dalam ketentuan ini adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukupjelas
 
Huruf i
Yang dimaksud dengan "penghilangan orang secara paksa" yakni penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dan negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dan perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
 
Huruf j
Yang dimaksud dengan "kejahatan apartheid" adalab perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sarna dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim  kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
 
Pasal 10
Cukup jelas
 
Pasal 11
Ayat (1) sampai ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tersangka ditangkap.
Ayat (6)
Cukupjelas
 
Pasal 12 sampai pasal 17
Cukup jelas
 
Pasal 18
Ayat (1)
Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "unsur masyarakat" adalah tokoh dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan rnenghayati di bidang hak asasi manusia.
 
Pasal 19
Pelaksanaan "penyelidikan" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam lingkup projustisia.
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menerima" adalah menerima, mendaftar, dan mencatat laporan atau pengaduan tent¨¢ng telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang bukti.
Huruf c sampai huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan "perintah penyidik" adalah perintah tertulis yang dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik dan penyidik segera mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan dan penyelidik.
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
"Penggeledahan" dalam ketentuan ini meliputi penggeledahan badan dan atau rumah.
Angka3)
Cukup jelas
Angka 4)
Cukup jelas
 
Ayat (2)
Cukup jelas
 
 
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau kead¨¤annya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dalam penyelidikan tetap dihormati asas praduga tak bersalah sehingga hasil penyelidikan bersifat tertutup (tidak disebarluaskan) sepanjang menyangkut narna-nama yang diduga melanggar hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 92 Undang undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asa Manusia.
Yang dimaksud dengan "menindaklanjuti" adalah dilakukannya penyidikan.
 
Ayat (2)
Cukupjelas
 
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kurang lengkap" adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
 
Pasal 21
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
 
Ayat(3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud "unsur masyarakat" adalah terdiri dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi.
Kata "dapat" dalam ketentuan ini dimaksudkan agar Jaksa Agung dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
 
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat(5)
Cukup jelas
 
Pasal 22
Cukup jelas
 
Pasal 23
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penuntut umum ad hoc dan unsur masyarakat diutamakan diambil dan mantan penuntut uniurn di Peradilan Umum atau oditur di Peradilan Militer.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat(4)
Cukup jelas
 
Pasal 24
Cukup jelas
 
Pasal 25
Cukup jelas
 
Pasal 26
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing misalnya untuk penganut agama Islam "Demi Allah" sebelum lafal sumpah dan untuk agama Kristen/Katolik kata-kata "Kiranya Tuhan akan menolong saya" sesudah lafal sumpah.
 
Pasal 27
Ayat(1)
Lihat penjelasan Pasal 4
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar majelis hakim selalu berjumlah ganjil.
Ayat(3)
Cukup jelas
 
Pasal 28
Ayat(1)
"Hakim ad hoc" adalah hakim yang diangkat dan luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan merighormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
 
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
 
Pasal 29
Angka 1 sampai angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Yang dimaksud dengan "keahlian di bidang hukum" adalah antara lain sarjana syariah atau sarjana lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Angka 5 sampai angka 8
Cukup jelas
 
Pasal 30
Lihat penjelasan Pasal 26.
 
Pasal 31
Cukup jelas
 
Pasal 32
Cukup jelas
 
Pasal 33
Ayat(1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
 
Ayat (6)
Huruf a sampai huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Lihat penjelasa'l Pasal 29 Angka 4.
Huruf e sampai huruf h
Cukup jelas
 
Pasal 34
Cukup jelas
 
Pasal 35
Yang dimaksud dengan "kompensasi" adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu rnemberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Yang dimaksud dengan "restitusi" adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:
a.       pengembalian harta milik ;
b.       pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
c.       penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Yang dimaksud dengan "rehabilitasi" adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
 
Pasal 36 sampai pasl 40
Cukup jelas
 
Pasal 41
Yang dimaksud dengan "permufakatan jahat" adalah apabila 2 (dua) orang  atau lebih sepakat melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
 
Pasal 42
Cukup jelas
 
Pasal 43
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat(2)
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
 
Pasal 44 sampai pasal 46
Cukup jelas
 
Pasal 47
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dilakukan di luar Pengadilan HAM.
 
Pasal 48
Cukup jelas
 
Pasal 49
Dalam ketentuan ini dimaksudkan hanya berlaku untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan yurisdiksinya berlaku bagi siapa saja baik sipil maupun militer.
 
Pasal 50
Cukup jelas
 
Pasal 51
Cukup jelas